Sekapur Sirih
Menyambut Lembaran Pagi
Catatan: Anshari Kadir
Puji syukur. Alhamdulillah.
Berkat dorongan berbagai pihak maka buku yang tengan berada di tangan
pembaca yang budiman ini, akhirnya berhasil diterbitkan. Materi buku ini
dikumpulkan dalam tempo yang sangat panjang, dengan mengingat, mencatat dan
mewawancarai orang-orang yang berhubungan dengan perjalanan hidup.
Semula memang ada keraguan untuk melanjutkan penulisan --mengingat
kemungkinan bahwa kisah ini belumlah seberapa dibanding dengan pengalaman orang
lain yang jauh lebih paripurna. Juga terselip keraguan atas kebanggaan semu yang
mungkin saja dinilai orang atas kisah yang tak sempurna ini. Namun selalu ada
dorongan yang begitu kuat dari dalam diri agar cerita hidup yang penuh liku itu
tak terlupa begitu saja. Hikmah yang tercabar dalam kabar semoga dapat menjadi
penyemangat terutama untuk anak dan cucuku nanti. Pesan yang ada dalam buku
ini, adalah sepahit apapun kesulitan, kita tidak boleh menyerah. Selalu ada
jalan yang akan ditunjukkan Sang Mahakuasa selama hambanya terus berusaha
dengan sabar, gigih sekaligus tawakal. Kerja keras dan doa yang kita panjatkan,
tidak akan pernah sia-sia sepanjang niat baik untuk mengubah nasib tiada pernah
hilang dari keseharian. Kerja keras dan doa yang sesungguhnya bukan hanya untuk
diri sendiri dan keluarga, namun juga dialamatkan agar diri berguna bagi banyak
orang.
Mudah-mudahan menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi anak-anakku dan
siapa saja yang berkesempatan membaca buku ini. Amin.
Seulas Pinang
Incognito
Yusril Ardanis
Betapa kisah tentang kemiskinan tak dapat diukur dari angka-angka dan
nilai statistika belaka. Ia menyimpan kegamangan tersendiri. Semacam kegetiran
yang sulit diungkap kalimat sederhana. Mata lindap dari ibu yang kebingungan
beroleh beras hanyalah satu bagian dari cerita tentang kekelatan. Bagian lain,
misalnya tentu saja soal kemiskinan yang meredupkan harapan atas hari depan.
Tetapi, percayakah Anda, bahwa beberapa orang yang sedemikian terbiasa dipulun
keterbatasan --rupanya memiliki daya juang luar biasa.
Anshari Kadir –tokoh buku ini—semula menyangka ia akan berakhir sebagai
salah seorang peladang berpindah sebagaimana dilakoni kedua orangtuanya. Sampai
suatu ketika, ia bertemu titik-balik. Kala ia basolenta minta disekolahkan, maka kisah mulai tak sependek tangkai
cangkul. Ia bentangkan cita-cita yang pada masa itu tak wajar. Ia hendak
mengubah nasib meski caranya entah bagaimana.
Membaca buku ini –kita akan segera berpapasan dengan serombongan sosudong atau
peladang berpindah di era awal tahun 1970 di sebuah propinsi bernama Riau. Para
nomaden pekerja keras yang memiliki semangat bertahan hidup sampai kearifan
atas alam yang melingkari mereka. Alur cerita akan mencoba menangkap lagi
suasana sosial ketika itu semisal kuatnya ikatan kebersamaan. Selanjutnya,
kisah menghadang badai mengalir bersama sang tokoh. Ia yang selalu mencoba
berkelit menjinakkan kesulitan demi kesulitan dalam upaya mengubah nasib. Dari
tokoh ini, setidaknya kita akan diingatkan kembali bahwa masalalu –betatapapun
kelatnya—tak harus dihanyutkan begitu saja. Kepahitan hidup, umpamanya,
mengingatkan pentingnya rasa bersyukur ketimbang merangkai-rangkai obsesi buat
meraih sesuatu yang berada di luar batas kesanggupan telapak.
Konsep buku ini sebetulnya sudah mulai dirancang belasan tahun lalu.
Anshari sempat mewawancarai orang-orang terdekat guna mendokumentasikan masa
kecilnya sendiri. Proses penggarapan buku menjadi sedemikian berlama-lama,
tersebab sang tokoh sempat merasa, bahwa membukukan kisah hidupnya sendiri
adalah bentuk dari semacam keriyaan.
Tetapi semangat untuk berbagi kisah, agaknya mengalahkan anggapan
pertama. Berkali-kali menyatakan, bahwa biarlah kisah hidup menjadi semacam
penyemangat buat sesiapa yang sempat membacanya.
Anshari Kadir –yang pada saat buku ini mulai ditulis— telah menjadi
seorang pejabat birokrat, memang tak akan pernah melupakan masalalu. Kisah lama
yang selalu ia undang kembali agar kebersahajaan tak lepas dari badan diri.
Bersama tokoh ini kita tak akan diajak masuk ke dalam intrik politik atau
beragam teori membenahi negara. Ia mengabarkan cinta yang sederhana. Baginya
daun-daun gugur adalah ketakjuban atas kebesaran Sang Maha Pencipta dan bukan
ritual semata. Ia menikmati hidup dengan merindukan masakan ibu –bukan dengan
melentingkan diri ke dalam rimba raya kepuasan semu. Menyukuri apa yang telah
diraih dalam banyak bagian memang menghadirkan kelapangan ketimbang hati
bergemuruh memburu apa yang belum didapat.
Inilah kisah dari seorang tokoh sederhana yang membawa kita meliuk-liuk
ke suatu masa, ke suatu ketika. Selamat membaca.
Namaku
Anshari
Perkenalkan namaku Anshari.
Anak seorang peladang
berpindah.
Aku lahir 1 Januari 1970 di
Kampung Pasir Puth, Pasirpengarayan,Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu,
Riau. Ayahku bernama Kadir dan ibuku Khadijah.
Pada waktu sampai di lokasi
peladangan baru itu, usiaku baru sekitar empat tahun. Di usia itu aku disebut
muda-mentah. Istilah buat menggambarkan bocah yang sepenuhnya belum sanggup
bertahan di cungkup alam.
Tapi tak mengapa. Nanti,
alam –dan pastinya orang tua dan seluruh peladang akan mengajarkannya dengan
seksama.
Selanjutnya, aku akan
menceritakan bagaimana beliung berkelebat tangkas dalam membuka peladangan
baru. Pohon ditebang dan seluruh bagiannya digunakan. Dahan lurus untuk tonggak
gubuk. Kulit kayu pembuat dinding. Batang besar bakal kayu bakar. Kami tak
membuang alang-alang. Lajur-lajur batang ilalang baik untuk pembuat atap.
Hingga, beberapa hari
kemudian, saat ladang sudah agak terlihat bentuknya, ketika sisa-sisa pohon
sudah ditumpuk dan mulai mengering: maka bomou
segera akan memperlihatkan taji. Beliau adalah ‘orang pintar’ yang sedemikian
dihormati.
Lihatlah. Bomou duduk di
tempat lengang. Bersila begitu saja.
Mulutnya mengguriminkan
mantra-mantra.
Kami anak-anak menunggu
dengan takjub gerangan apa yang akan terjadi. Apakah ilmu bomou masih mangkus?
Lalu beberapa orang dewasa
mulai menyulut ranting kering.
Asap membubung, api
bergejolak.
Datanglah angin kolimubu.
Semacam puting beliung.
Daun-daun kering
beterbangan. Deru angin memisau-misau.
Ajaib.
Dibantu kolimubu api bergerak cepat membakari
belukar. Namun yang terbakar hanya di tempat dikehendaki. Begitu cepat.
Gemeletuk api membubungkan asap. Kobarannya memanaskan kulit wajah.
Aku ingat, bomou itu bernama Bawal. Sebelum mulai
mendatangkan angin kolimubu: mulut bomou penuh sirih. Sambil mengunyah ia
rapalkan kalimat ampuh. Kami namakan mantra itu sebagai ilmu copak-sirih.
Kami, anak-anak sebaya
selalu takjub dan tak tak sabar menunggu bomou
Bawal bekerja. Tersebab acap membuka ladang baru --hingga sering pula kami
menyaksikan angin kolimubu. Paling
lama, kami hanya bertahan dua tahun di satu peladangan. Bahkan jika dinilai tak
berhasil –kami akan mencari lagi daerah baru.
Tetapi baiklah.
Kisah akan
berpanjang-panjang juga.
Usai bomou Bawal berperan maka selanjutnya aku dan teman-teman sebaya
akan mendapat giliran bekerja. Kami akan
momorun. Mengumpulkan sisa-sisa kayu sebesar lengan orang dewasa --yang
belum sepenuhnya dapat terbakar. Kayu yang telah berubah hitam itu ditumpuk
untuk dibakar ulang. Usai momorun
--rupa kami berubah persis gerombolan anak jin. Tinggal gigi tak dipulun arang.
Seluruh tubuh hitam dilengketi abu. Berkilat disepuh keringat.
Semua orang memang terlatih
untuk bekerja.
Peran mereka telah ada.
Anak-anak pun demikian. Meski sebagian kayu masih memercikkan bara –namun
seolah tak ada orang tua yang khawatir bahwa tangan anaknya akan melepuh terbakar
api.
Awal membuka ladang memang
berat.
Karenanya semua orang harus
bekerja. Tempat yang semula rimba --disulap jadi ladang. Tak boleh terlalu lama
karena beras yang jadi bekal --bisa tak cukup sebelum musim panen tiba. Tak ada
persaingan antar peladang. Selain masih banyak berhubungan saudara –mereka
adalah orang satu kampung yang disatukan rasa senasib. Makanya juga tak ada
yang dibiarkan benar-benar tak punya beras.
Meski berat namun
dipastikan bahwa masa kecilku teramat bahagia. Bersanding dengan alam –sungguh
tiada dua. Orang sekampung adalah orang tua. Mereka bisa memarahi kita meski
bukan anaknya. Cara menghindari marah --tak boleh berbuat salah. Jika ragu
bertanya dan jika takut cari teman. Alam terkadang tak ramah. Jangan masuk
tempat yang tak boleh karena kaki kami yang tak beralas bisa menginjak ular
hitam atau tersesat ke pelintasan harimau.
Para peladang sedemikian
terbiasa menerjang kesulitan. Pepatah ‘tak rotan akar pun jadi’ bukanlah cuma
pepatah bagi kami --namun benar-benar dijalani. Setelah ladang terhampar sejauh
mata memandang: maka dangau yang agak kokoh mulai dibangun pengganti gubuk.
Akar dan rotan dikumpul.
Karena harus berjaga dari
serangan binatang buas, maka dangau dibangun berkaki tinggi yang disebut teratak ladang. Pohon dan dahan yang
sebelumnya sudah disisihkan mulai dipilih. Peladang berpindah yang juga disebut
dengan sosudong tak sembarangan
membuat teratak. Harus dipilih tempat yang cocok --seperti pintunya harus
menghadap ke hamparan ladang. Ayah dengan terampil menggali lubang buat
menancapkan kayu penyangga. Selanjutnya dengan ketangkasan yang sama beliau
mengikat dahan-dahan kayu lurus untuk dijadikan kerangka teratak. Kami tak
menggunakan paku. Akar dan rotan yang jadi pengikat. Jika tak ada rotan, akar
sebagai ganti. Seluruh anggota keluaga membantu. Omak mengumpulkan alang-alang
kering yang selanjutnya disusun sedemikian rupa hingga berguna jadi atap. Biasanya
Kulit kayu Torok dipasang
sebagai dinding.
Karena aku adalah anak
tunggal, maka kami bekerja bertiga saja. Jika butuh bantuan orang lain, Ayah
tinggal meminta tolong. Demikian pula jika ada teratak yang belum siap, maka
kami akan datang membantu pula.
Senja
Terburu
Maka demikianlah.
Dengan langkah berat kami
sekeluarga tetap bertahan di tengah rombongan. Tertatih di dalam barisan. Aku
yang berada di pundak Ayah --sesekali melirik Omak yang berjalan di belakang.
Kami adalah warga yang
hidup berpindah-pindah.
Menyusuri hutan,
menyeberangi lembah.
Mencari ladang baru.
Berburu harapan baru.
Perjalanan kali itu terasa
lebih berat.
Tanah terjal berjurang
dalam. Menyeruak lebat rimba. Rombongan tak bisa bergerak dengan cepat tersebab
orang-orang yang berada di depan harus meneruka. Akar rotan ditebas, belukar
ditarah. Mereka bekerja sedemikian keras supaya jalan dapat dilalui --termasuk
bagi anak-anak dan ibu yang menggendong bayi.
Ketika berada di tanah
tinggi, kami bisa melihat orang berbaris memanjang. Penuh beban di kanan-kiri.
Tak hanya menggendong anak, juga dibawa serta perlengkapan rumah tangga dan
tentu saja tak ketinggalan alat-alat untuk berladang. Di kejauhan terhampar hutan
menurun lembah dengan kabut mengambang membatas pandang.
Saat angin menampar pucuk
pohon maka butiran embun akan luruh, membasahi kami yang berjalan dibawahnya.
Kami bisa sejenak
beristirahat saat orang-orang di bagian depan barisan kembali harus menebas
belukar. Tapi tak lama. Ketika jalan setapak dianggap sudah bisa dilewati –maka
bayi akan segera digendong. Perlengkapan berladang diangkat lagi. Mendaki tanah
terjal. Mata awas agar tak terpijak bibir ngarai.
Matahari sesungguhnya tepat
berada di atas kepala. Namun sinarnya tak menembus leluasa. Terhalang cungkup
rimba. Di sela dahan-dahan kayu itulah aku bisa menyaksikan beruk bergelayut di
pucuk-pucuk pohon. Suaranya memekak-mekak. Sesekali burung terbang
bertemprasan. Mungkin terkejut atas kehadiran kami.
Tak letih Ayah
menggendongku (mendukung). Menggelayut
dipundaknyanya aku melihat keringatnya mengalir membasahi leher. Sesekali
terdengar Ayah terbatuk-batuk. Omak juga tak terlihat akan menyerah. Kami
berjalan terus hingga sinar matahari tak lagi mencubit kulit. Di kelebatan
rimba --siang serasa sedemikian lekas berubah petang.
Menjelang senja aku
saksikan sejumlah lelaki dewasa –termasuk Ayah, bercakap-cakap. Sebentar lagi
malam akan menyamun seisi hutan.
Agaknya kami akan bermalam
sebelum sampai ditujuan.
Tidak akan ada persoalan.
Pun tiada rasa cemas
berlebihan.
Bagi kami, hutan adalah
bagian tak terpisahkan.
Dataran dibersihkan.
Sumber air dicari.
Lalu didirikan semacam
gubuk-gubuk sederhana. Beratap daun seadanya. Demikianlah jika hendak bermalam
dalam rimba. Tak gentar meski masing-masing orang tiada boleh takabur. Ada
aturan-aturan tertentu yang semua orang telah paham. Tak boleh sembarangan
buang air, tak boleh berkata kotor, rimba adalah ranah yang harus dihormati.
Kami permisi kepada rimba supaya rimba menjaga kami.
Malam turun sempurna ketika
gubuk-gubuk telah didirikan.
Di bawah lentera minyak
orang-orang duduk melingkar. Api memanggang pantat cerek. Unggun menghadirkan
kehangatan --juga bayangan memanjang dan gemeletuk api memamah ranting kering.
Saatnya nasi yang
berbungkus daun pisang diedarkan. Masing-masing orang dapat sebongkah. Meski
lauk apa adanya namun apa dikunyah sungguh enak tak berbanding.
Esoknya, kami berjalan
lagi. Menembus hutan di hangat pagi.
Menjelang siang barulah
beroleh kabar.
Kepala rombongan menyatakan
kami telah sampai.
Bersorak. Kepala rombongan
itu menunjuk hamparan.
Tanah yang hendak dijadikan
peladangan –sekaligus tempat pemukiman baru—harus berupa dataran yang tak
terlalu banyak pepohonan.
Anak diturunkan dari
gendongan.
Peralatan mulai digunakan.
Dataran langsung dibersihkan. Bekerjasama. Tak banyak bicara. Sudah tahu tugas
masing-masing. Gotong-royong yang kami istilahkan dengan berporari itu nantinya akan terus berlanjut dalam banyak sisi
kehidupan kami.
INSYA ALLOH BUKUNYA AKAN DI TERBITKAN,,, TINGGAL CETAK. mohon doanya....
catatan : SALAH SATU PERINTIS LPM GAGASAN UIN SUSKA
Pukul 19.30 WIB. Awal Juni 2010. Gagasan berkunjung ke kediaman Anshari Kadir, Jalan Sembilang Indah, Tngkerang Tengah,Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. “Abang ada didalam,” sambut istrinya. Rumah itu cukup besar, tapi masih dalam tahap pembangunan.
Di ruang tamu, Anshari tengah Asyik di depan Laptop, jarinya sigap mengetik satu persatu huruf. “Lagi nulis buku,” katanya. Tampaknya, ia sudah sadari dari tadi menunggu. Walau telat 30 menit, ia tetap menyambut dengan ramah.
Meski bekerja sebagai birokrat, Anshari tidak kehilangan naluri menulis. Sekarang, suami dari Helmi ini, tengah berusaha menulis buku ihwal perjalanan hidupnya. Judul buku itu: Membuka Lembaran Pagi, Sebuah Renungan Diri. Buku itu ditulis untuk mengenang masa lalunya.
Sajian teh hangat membuat suasana malam itu semakin akrab. Sepenggal, ia menceritakan masa lalunya, penuh tantangan dan kenangan.
***
Anshari, lahir 1 Januari 1970 di Pasir Pengarayan. Ia tinggal di rumah kayu sederhana, tidak jauh dari bibir Sungai Rokan.Kalau mau mandi, turun dari tebing sungai hanya beberapa meter dari sungai Batang Lubuh, “Rumah saye dekat dengan rumah Ahmad, sekarang Bupati Rokan Hulu,” katanya. Masa kecil ia lalui dengan kesederhanaan.
Ayahnya bekerja sebagai tukang angkat beras alias buruh , sementara ibunya berjualan sayur keliling. Bila berangkat sekolah, ia mesti menyeberangi Sungai Rokan. Walau demikian, Anshari tidak patah arang bercita-cita jadi sukses.
Ia berkisah. Saat berumur tujuh tahun, ia menangis, minta dimasukkan sekolah kepada ibunya. “Macam mano nak skolah, kite ni orang susah,” ucap ibunya. Namun karena terus didesak, pada esok hari, ayahnya membawa Anshari ke SD di Pasir, kala itu dia dan keluarganya masih tinggal di ladang yang jaraknya dari kampong satu hari berjalan kaki. Siapa sangka, kepala sekolah menolak karena saat itu sudah pertengahan tahun. “Saye pun sekolah tahun depan, saat umur delapan tahun,” akunya.
Sejak SD, bakat menulis Anshari sudah tampak. Ia senang berkirim surat. Tidak tanggung-tanggung, ia kerap berbalas surat keluar negeri. Satu hal yang tidak pernah terbayangkan olehnya saat ini. “Coba kalian bayangkan, berapalah besar anak SD, sudah berbalas surat keluar negeri. Kalau dipikir-pikir, tidak terbayangkan oleh aku sekarang ni,” ucapnya.
Selain menulis, Anshari juga senang mendengar radio. Tidak hanya radio lokal, radio lintas dunia seperti NHK Jepang, Radio Jerman dan ABC (Australia) serta Radio Nederland Belanda pun didengarnya. Ia menulis surat ke radio tersebut. Sebab itulah, ia bisa berbahasa Jepang dan Belanda walaupun jauh dari sempurna.
“Saye bisa dikit bahasa Jepang, Jerman dan Belanda, waktu itu saye dikirim buku bahasa Jepang oleh Radio NHK,” ujarnya sembari menunjukkan surat itu. “Ini dia suratnya.” Di kepala surat tertulis: Kepada Ananda Anshari Kadir.
Biasanya, Anshari kecil selalu singgah ke kantor pos, sepulang dari sekolah. Saking seringnya ke kantor pos, petugas pos sudah paham bila Anshari datang kesana. “Ada surat balasan dari Jepang, Jerman dan Belanda, dan semue tu jadi kebanggaan bagi aku saat itu,” katanya.
***
Sekolah sambil Siaran
Usai SD tahun 1984, penyuka beragam bacaan ini melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Pasir Pengarayan. Anshari terus mengembangkan bakat menulisnya: menjadi pengurus majalah dinding (mading). “Senang rasanya, tulisan kita dibaca orang,” katanya.
Lepas MTsN tahun 1987, Anshari berniat merantau ke Pekanbaru, ia melanjutkan sekolah ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN, setingkat SMA). Ia hidup ngekos. Jauh dari orang tua membuat Anshari remaja lebih mandiri. Ketertarikannya di bidang penyiaran, memacu semangatnya bekerja sebagai penyiar. Ia pun diterima bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) Pekanbaru.
Alasannya, menjadi seorang penyiar bisa mempengaruhi orang banyak dengan kecakapan berkomunikasi. “aku sering dengar RRI Pekanbaru, aku masih ingat waktu itu penyiarnya Rismandiyanto. Aku coba bekerja di RRI, Aku senang jadi penyiar, karena bisa mempengaruhi orang,” katanya.
Ia mulai siaran di RRI. Saat itu ia memegang acara anak muda: Gelanggang Pramuka, serta Yang Muda Yang Berkarya, setiap hari Minggu, jam 09.00 WIB. Sejak itu, Anshari mulai mandiri dalam urusan finansial, tidak lagi jalan kaki ke sekolah, begitu juga ke tempat kerja. Ia sudah mampu beli sepeda sendiri, “Aku beli sepeda balap waktu di PGA hasil usaha sendiri, aku kumpulkan duit sedikit-demi sedikit, ini dia kwitansinya masih ada, harganya seratus dua puluh ribu,” ujarnya sembari menunjukkan kwitansi lusuh itu kepada Gagasan.
Anshari memiliki hobi yang unik: senang menyimpan dokumen pribadi dari kecil hingga sekarang. Bahkan, buku pertamanya saat kelas satu SD saja masih utuh. Begitu pula buku rapor dan perlengkapan pramukanya saat itu. “Ini dia buku saye waktu SD, sudah tampak lusuh, nilainya sepuluh semua, ini rapor SD, SMP dan SMA, dan ini perlengkapan Pramuka saat jadi utusan di Cibubur. Apa pun dokumen yang sifatnya pertama kali dalam hidup, saye simpan,” kata Anshari sambil menyusun bundel dokumennya.
Meski sibuk kerja, Anshari tidak abai dengan sekolahnya. Ia juga mendulang prestasi cukup lumayan di PGA. Alhasil selama sekolah disana, ia dapat beasiswa dari Yayasan Supersemar. “Setiap bulan dapat dua belas ribu lima ratus rupiah,demikian waktu di Perguruan Tinggi, Alhamdulillah masih dapat besiswa Supersemar” akunya.
***
Ikut Merintis Gagasan
Lulus PGAN tahun 1990, Anshari melanjutkan pendidikan ke IAIN Susqa Pekanbaru (sekarang UIN Suska Riau). Ia kuliah di Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
Saat kuliah, Anshari merasa ada yang kurang dari kampusnya dibanding kampus lain. Rupanya ia tidak sendiri. Bersama Idris Ali dan Dinawati, teman kuliahnya, mereka berembuk guna mewujudkan koran kampus.
Setelah komitmen dan persamaan ide terbentuk, mereka pun mulai melobi berbagai pihak. Tidak ada hal mendasar melatar belakangi berdirinya Pers Kampus ini. “Saat itu koran kampus tak ada di IAIN. Di Riau ini yang ada cuma di Unri, namanya Bahana. Maka kami sepakat untuk buat koran kampus juga di IAIN,” katanya.
Tahun 1993, saat itu Anshari bekerja sebagai reporter di RRI. Idris Ali di Surat Kabar Mingguan Genta. Berbekal ilmu jurnalistik serta dukungan dari Pembantu Rektor III saat itu: Mujtahid Thalib (sekarang Bupati Inhu), Gagasan sah berdiri dengan SK MENPEN RI. No 1950/SK/Ditjen PPG/STT/1993.
Menurut Anshari, Gagasan awalnya bernama Cakrawala. Namun karena dirasa kurang menarik, maka pengurus berinisiatif menggantinya jadi Gagasan. Tidak ada hal mendasar pergantian nama ini, nama Gagasan terlintas begitu saja.
Saat itu, Anshari Kadir memegang posisi koordinator liputan, dan Idris Ali sebagai pemimpin redaksi. Memasuki tahun kedua, 1994, Anshari diutus mengikuti Temu Karya Pengelola Penerbitan Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia, di Tubu, Bogor, 22 – 25 Juni 1994. Setelah itu, penerbitan Gagasan terus dikembangkan.
Bersama Idris Ali, mereka berusaha membuat lebih baik. Ia mengakui, saat itu produk Gagasan belum menarik dibanding pers kampus PTAI lainnya. Masa itu, sebagian besar liputan pers kampus lain, terinspirasi dari koran Detik. Tapi sayang, koran itu dibredel oleh pemerintah Soeharto. “Kritiknya terlalu tajam waktu itu,” ujar Anshari.
Masa merintis dahulu, Anshari mengaku tidak ada masalah biaya cetak. Masalah saat itu, pers tidak bisa kritis seperti sekarang. “Karena masa itu masih zaman orde baru,” kelitnya.
Proses penerbitan juga serba sulit, tidak ada komputer dan kantor khusus. Waktu itu, sekretariat Gagasan digabung dengan senat mahasiswa institut. “Saat itu kami tidak berfikir masalah duit, yang terpenting, setelah terbit ada perubahan,” kata Anshari.
Jadi reporter Gagasan kala itu butuh kesabaran. Anshari mengenang, saat ngetik berita ia mesti menyimpan kata-kata dalam kepala. “Ngetik pakai mesin tik, kalau salah, cabut kertasnya, ganti kertas baru, ulang lagi ngetik dari awal. Jadi sebelum ngetik tu kita sudah susun kata-kata dalam kepala,” kenangnya.
Salah satu hal mengesankan, saat proses terbit mereka mengetik berita dengan mesin ketik pribadi, di rumah masing-masing. Setelah berita usai, ketikan diserahkan ke Pemimpin Redaksi, Idris Ali. “Bang Idris mengolah berita itu menggunakan DOS di kantor SKM Genta,” kata Anshari mengenang.
Selama di Gagasan, liputan paling berkesan menurutnya, yaitu tentang sikap cuek mahasiswa dan dosen saat adzan berkumandang. Liputannya ringan, tapi membawa perubahan di masyarakat kampus. “Kritikan itu sifatnya membangun, setelah Gagasan terbit ada perubahan. Mushala IAIN Susqa pun penuh saat tiba waktu shalat,” ujarnya.
Menjadi seorang jurnalis, menjadi kebanggaan bagi dirinya dan kawan – kawan saat itu. Mereka punya motivasi menulis, karena waktu itu, IAIN belum ada Jurusan Jurnalistik. “Yang ada cuma Syariah, Tarbiyah dan Ushuluddin,” terangnya.
Masa itu, Gagasan juga menjalin kerja sama dengan perusahaan. Gagasan menyediakan rubrik Pariwara, menggandeng Caltex. Meski demikian, pengurus Gagasan tetap profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik. Anshari menjelaskan, waktu itu mereka juga meliput aksi unjuk rasa mahasiswa terhadap Caltex, ihwal kurangnya partisipasi Caltex terhadap masyarakat. “Kita berimbang menyajikan berita, yang baik terungkap, yang tidak baik juga terungkap,” jelasnya.
Gagasan ketika itu, mendapatkan apresiasi positif dari rektor. Banyak hal tentang kebijakan rektor, sulit disosialisasikan. Peluang ini diambil Gagasan. Sejak itu, ia dan teman pengurus menjalin kesepakatan dengan rektor: pengumuman kelulusan mahasiswa baru, dan pengumuman penting lainnya, diumumkan lewat Gagasan.
Perlahan tapi pasti, Anshari melihat Gagasan semakin berkembang dengan masuknya generasi kedua. “Waktu itu, ada Ilzam Fauzi, Hendrik, Nazir Fahmi, Saidul Tombang, dan Mahyudin Yusdar,” terangnya. Ia senang melihat Gagasan sekarang, “Saye tak sangke jadi berkembang seperti sekarang, Gagasan hebat,” pujinya.
***
Sekarang ia bekerja di Biro Hukum dan Organiasi Tata laksana Pemerintah Provinsi Riau, ia juga aktif di Gerakan Pramuka, sebagai Sekretaris Kwartir Daerah. Ia sosok ramah dan senang berbagi cerita. Setiap perkataannya, kerap menjadi motivasi bagi lawan bicaranya.
DAFTAR
RIAWAYAT HIDUP
I.
KETERANGAN
PERORANGAN
1
|
Nama
Lengkap
|
Anshari
Kadir, S.Ag, M.Si
|
|
2
|
NIP
|
19700101
199803 1 018
|
|
3
|
Pangkat
dan Golongan
|
Pembina
/ Golongan IVa
|
|
4
|
Tempat
Lahir / Tanggal Lahir
|
Pasir
Pengarayan / 1-1-1970
|
|
5
|
Jenis
Kelamin
|
Pria
|
|
6
|
A
g a m a
|
Islam
|
|
7
|
Status
Perkawinan
|
Kawin
|
|
8
|
Alamat
rumah
|
a.
Jalan
|
Sembilang
Indah No 35
|
b.
Kelurahan / Desa
|
Tangkerang
Tengah
|
||
c.
Kecamatan
|
Marpoyan
Damai
|
||
d.
Kabupaten / Kota
|
Pekanbaru
|
||
e.
Propinsi
|
Riau
|
||
9
|
Keterangan
badan
|
a.
Tinggi (cm )
|
168
cm
|
b.
Berat ( kg )
|
84 kg
|
||
c.
Rambut
|
Hitam
|
||
d.
Bentuk Muka
|
Bulat
|
||
e.
Warna Kulit
|
Kuning
|
||
f.
Ciri-ciri khas
|
-
|
||
g.
Cacat Tubuh
|
-
|
||
10
|
Kegemaran
( Hobby )
|
Membaca,
mengarang, bercerita
|
I.
PENDIDIKAN
1. Pendidikan Dalam dan Luar Negeri
No
|
Tingkat
|
Nama
Pendidikan
|
Jurusan
|
STTB/Tanda Lulus/Ijazah
Tahun
|
Tempat
|
Nama Kepala Sekolah/Direktur/
Dekan/Promotor
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1
|
SD
|
SDN
|
-
|
1984
|
Pasir Pengarayan
|
M. Yakub.S
|
2
|
SLTP
|
MTsN
|
-
|
1987
|
Pasir Pengarayan
|
Drs.H.Iljas Rahim
|
3
|
SLTA
|
PGAN
|
-
|
1990
|
Pekanbaru
|
Barmawi
|
4
|
D I
|
|||||
5
|
D II
|
|||||
6
|
DIII /AKADEMI
|
|||||
7
|
D IV
|
|||||
8
|
S 1
|
IAIN
|
PAI
|
1995
|
Pekanbaru
|
H.Yusuf Rahman
|
9
|
S 2
|
UNRI
|
URBAN STUDIES
|
2005
|
Pekanbaru
|
Muchtar Achmad
|
10
|
S 3
|
|||||
11
|
Spesialis I
|
|||||
12
|
Spesialis II
|
|||||
13
|
Profesi
|
2. Kursus / Latihan di Dalam dan di
Luar Negeri
No
|
Nama Kursus/Latihan
|
Lamanya/Tgl/
Bln/Thn/s/d/
Tgl/Bln/Thn
|
Ijazah/Tanda
Lulus/Surat Keterangan
Tahun
|
Tempat
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
Training Trust Workshop
|
11-15 oktober
|
1999
|
BBC
|
Radio London
|
2
|
Diklat Radio Interaktif
|
2000
|
RRI Jakarta
|
||
3
|
Training Courses
|
Juni - Nov
|
2001
|
Swedish Radio
|
Radio Swedia
|
4
|
Diklat Keprotokolan
|
13-16 Juli
|
2004
|
Jakarta
|
Depdagri
|
5
|
Diklat Manajemen Keprotokolan
|
14-17 Juni
|
2005
|
Jakarta
|
LAN
|
6
|
Diklatpim
IV
|
10 Agustus-
22 September
|
2005
|
Pekanbaru
|
Lulus
Baik Sekali
|
7
|
Bimbingan Teknis Nasional thema
peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mempercepat
penanggulangan kemiskinan di Indonesia
|
14 -15 Maret 2007
|
2007
|
Jakarta
|
Sertifikat
Badan Administrasi Keuangan dan
Pembangunan
|
8
|
Diklatpim III
|
28 September – 25 oktober 2007
|
2007
|
Pekanbaru
|
Lulus
Baik sekali
|
9
|
KPD Pramuka
|
2007
|
Pekanbaru
|
ijazah
|
|
10
|
KPL Pramuka
|
5-12 Nopember
|
2007
|
Cibubur Jakarta
|
ijazah
|
II.
RIWAYAT
PEKERJAAN
1.
Riwayat
Kepangkatan Golongan Ruang Penggajian
No
|
Pengkat
|
Gol. Ruang
Penggajian
|
Berlaku terhitung
mulai
tanggal
|
Gaji
Pokok
|
Surat
Keputusan
|
Peraturan
yang dijadikan dasar
|
||
Pejabat
|
Nomor
|
Tanggal
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
III a
III a
III a
III b
III b
III b
III c
III c
III c
IIId
IIId
IVa
IVa
|
1-03-1998
1-08-1999
1-03-2000
1-10-2002
1-03-2004
1-03-2006
1-10-2006
1-03-2008
1-03-2010
1-10-2010
1-03-2012
1-10-2013
1-3-2016
|
193.440
241.800
253.900
828.200
1.008.800
1.031.400
1.236.300
1.461.200
2.283.400
2.607.300
3.206.000
3.995.000
|
Menpen
Deppen
RRI
RRI
RRI
Sekda Riau
Gubri
SekdaRiau
Sekda Riau
Gubernur
Sekda Riau
Gubernur
.
SekdaRiau.
|
663/SK/PB/98
264/SK/PN/99
09/SPKG/UP/2000
05205/KEP/DIRUT
/KP/X/2002
17/SPKG/
UP/2004
SK.822.3/UM/
2006/13
SK. 823.3/X/2006/40
SK.822.3/UM/2008/
71
Kpts.1257/IX/2010
SK.822.3/UM/2012/
143
Kpts.653/IX/2013
SK.822.4/ORG/2016/439
|
10 Juni
28 Juli
2 Jan
25 Okt
2 Jan
4 Jan
3 Okt
26 Feb
22-9-2010
21-2-2012
12-9-2013
25-12016
|
Capeg
PN
Berkala
KP
Berkala
Berkala
KP
Berkala
Berkala
KP
Berkala
KP
Berkala
|
2.
Pengalaman
Jabatan/ Pekerjaan
No
|
Pengkat
|
Mulai
Dan
Sampai
|
Gol. Ruang
Penggajian
|
Gaji Pokok
|
Surat
Keputusan
|
||
Pejabat
|
Nomor
|
Tanggal
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Staf Reportase RRI
Staf masalah aktual RRI / pemberitaan
TVRI Riau
Staf Protokol
Kantor Gubernur Riau
Kasubag Bantuan Aktifitas
Keagamaan Biro Kesra
Kasubag Pemeliharaan perlengkapan
dan instalasi penunjang kantor
Biro Perlengkapan
Kasubbag Kelembagaan Provinsi Biro
Hukum dan Ortal Setda Riau
Kabag Humas dan
PerpustakaanSekretariat
DPRD Riau
Kabag Adm Pendidikan dan Agama
Biro Adm Kesra Setda Riau
Kabag Adm Kesehatan, pemberdayaan
perempuan dan Keluarga Berencana Biro Adm Kesra Setda Riau
Kabid Ideologi dan wawasan kebangsaan Badan
Kesatuan Bangsa dan politik Provinsi Riau
|
1998-2002
2002-2004
1 Juni 2004-
11 Juli 2006
12 Juli 2006
31Desember 2008
12 Mei
2010
12 april2012
28 Maret
2013
23 Pebruari
2015
25 Juli
2016
30 Des
2016
|
III
a
III
b
III
b
III
c
III
c
IIIc
IIId
IIId
IVa
IVa
IVa
|
Deppen
RRI/TVRI
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
Gubernur
|
SK.824.3/VI/
2004/335
Kpts.341/VII/
2006
Kpts.1995/XII/2008
Kpts.888/V/2010
Kpts.285/IV/2012
Kpts.172c/III/2013
Kpts. 36/II/2015
Kpts. 679/VII/2016
Kpts.1231/XII/2016
|
8-6-2004
12-7-2006
30-12-2008
11 Mei 2010
5 April 2012
1
Maret 2013
|
III.
TANDA JASA /
PENGHARGAAN
No
|
Nama
Bintang/ Satya lencana
Penghargaan
|
Tahun
perolehan
|
Nama
Negara/ Instansi
yang
memberi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
2
3
4
|
Pancawarsa IV
Satya lencana karya satya X
Lencana Darma Bakti
Lencana Melati
|
2010
2008
2014
2016
|
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Presiden RI DR.H.S Bambang
Yudoyono
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
|
IV.
PENGALAMAN KE
LUAR NEGERI
No
|
Negara
|
Tujuan
Kunjungan
|
Lamanya
|
Yang
membiayai
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
2
|
Malaysia
Singapore
|
V.
KETERANGAN
KELUARGA
1.
ISTERI
No
|
NAMA
|
Tempat
lahir
|
Tanggal
lahir
|
Tanggal
Nikah
|
Pekerjaan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1
|
Helmi,S.Ag
|
Pasir Panjang
|
15-1-1973
|
22-9-1996
|
Wiraswasta
|
2.
ANAK
No
|
NAMA
|
Jenis
kelamin
|
Tempat
lahir
|
Tanggal
lahir
|
Tanggal
Nikah
|
Pekerjaan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
1
2
|
Taufiqurrahman
Muhammad Yanfa’unnas
|
Laki-laki
Laki-laki
|
Pekanbaru
Pekanbaru
|
16-4-1999
7-9-2004
|
-
-
|
-
-
|
3.
BAPAK DAN IBU
KANDUNG
No
|
NAMA
|
Tgl.
Lahir
|
Pekerjaan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
2
|
Kadir
Khadijah
|
68
tahun
|
-
|
Almarhum 1982
|
4.
BAPAK DAN IBU
MERTUA
No
|
NAMA
|
Tgl.lahir
|
Pekerjaan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Wan Nurdin
|
66 Tahun
|
Tani
|
|
2
|
Tengku. Nurjawanis
|
-
|
-
|
Almarhumah
|
5.
SAUDARA KANDUNG
No
|
NAMA
|
Jenis Kelamin
|
Tanggal
Lahir/ Umur
|
Pekerjaan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
VI.
KETERANGAN ORGANISASI
1.
Semasa
mengikuti pendidikan pada SLTA ke bawah
No
|
Nama Organisasi
|
Kedudukan
Dalam Organisasi
|
Dalam Tahun
s/d Tahun
|
Tempat
|
Nama
Pimpinan Organisasi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
2
3
4
|
Pramuka
OSIS
DKD Pramuka
PMR
|
Ketua
Dewan Ambalan
Ketua
Giat Ops
Wakil Ketua
|
1988 - 1989
1989 – 1990
1989 – 1990
1989 - 1990
|
Gudep 55-56
PGAN
Pekanbaru
Kwarda
Pramuka
PGAN
|
Yaslim Yelvi
Nur Lubis
Rusleini
Nurazimah
|
2.
Semasa mengikuti
pendidikan pada perguruan tinggi.
No
|
Nama Organisasi
|
Kedudukan
Dalam Organisasi
|
Dalam Tahun
s/d Tahun
|
Tempat
|
Nama
Pimpinan Organisasi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
Koran Kampus
Gagasan
|
Koordinator Liputan
|
1993-1994
|
IAIN SUSQA
|
Mujtahid Thalib
|
3.
Sesudah pendidikan
dan atau selama menjadi pegawai
No
|
Nama Organisasi
|
Kedudukan
Dalam Organisasi
|
Dalam Tahun
s/d Tahun
|
Tempat
|
Nama
Pimpinan Organisasi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Kwarda Pramuka Riau
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia
Kwarda Pramuka Riau
FKUB ( Forum Kerukunan Ummat
Beragama
LPTQ Riau
DPW ASPARI ( Asosiasi Seniman Pariwisata
Religi Indonesia) Riau
DMDI ( Dunia Melayu Dunia Islam )
Satuan Karya Ulama Indonesia
Riau
Dewan Pimpinan Daerah Majelis
Dakwah Islamiyah Riau
Kwartir Daerah 04 Gerakan pramuka
Riau
|
Andalan daerah urusan Protokol dan
Humas
Anggota
Kadiklat
Andalan Daerah urusan Humas dan
komunikasi
Anggota koordinator Sekretariat
Anggota Litbang dan Publikasi
Kepala Biro Ekuin
Sekretariat
Sekretaris IV
Biro Pengabdian Masyarakat &
kesehatan
Sekretaris
|
1999-2004
2000-2007
2001-2003
2004-2009
2006-2009
2006-2011
2007-2012
2007-2008
2007-2012
2008-2012
2009-2014
|
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
Pekanbaru
|
OK.Nizami jamil
Sutrianto
Sutrianto
Wan Abu Bakar
Drs.H.Almunir Asyani
Rusli Zainal
Irham mas
HR.Mambang Mit
H.Abd Gaffar Usman
Drs.H.Abd.Razak Z,MM
Hj.Septina Primawati
|
VII.
KETERANGAN
LAIN-LAIN
No
|
Nama
keterangan
|
Surat
Keterangan
|
Tanggal
|
|
Pejabat
|
Nomor
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Keterangan berkelakuan baik
|
|||
2
|
Keterangan Berbadan sehat
|
|||
Demikian
Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila
dikemudian hari terdapat keterangan yang
tidak benar saya bersedia dituntut dimuka pengadilan serta bersedia menerima
segala tindakan yang diambil oleh pemerintah